Minggu, 05 April 2009

Golput? Tentu Tidak!

By: Agus Hermawan


Kami dari partai Insan Empati Bangsa mengucapkan salut dan terimakasih yang luar biasa kepada pimpinan pemerintahan sekarang beserta jajarannya. Beliau dengan dukungan partai Dinosaurus beserta partai lain baik yang duduk sebagai wapres, anggota kabinet, legislatif, dan jabatan-jabatan lain telah berhasil membuat gebrakan-gebrakan hebat yang sebelumnya jarang dilakukan, sebagai contoh pemberantasan korupsi, dan yang penting bangsa kita mulai disegani kembali dalam pergaulan dunia. Tetapi saudara-saudara harus tahu bila negara ini dipimpin oleh orang dari partai kami maka negara menjadi lebih baik dari sebelumnya, dalam berbagai aspek, termasuk apa pun yang saudara-saudara impikan selama ini”.

Pembaca, teks di atas hanya cuplikan dari kampanye yang disampaikan salah seorang kader dari partai Insan Empati Bangsa (kalau ada nama partai yang sama, ini hanya kebetulan belaka, maklum penulis tidak ingat nama seluruh partai yang ada di Indonesia saat ini, maaf pembaca) di sebuah lapangan terbuka yang dihadiri oleh ribuan massa pendukung (asli lho… bukan massa sewaan!).

Bila saja ada pemimpin partai yang berorasi demikian maka satu langkah kedewasaan bangsa ini tercipta. Betapa tidak, sementara pemimpin (dan kader-kader) partai saling menyalahkan, menghujat, membongkar kesalahan serta kekurangan partai lain, pemimpin ini tidak. Karena apa pun yang telah dilakukan pemimpin saat ini merupakan prestasi bahkan sejarah bangsa. Disamping segala kekurangan dan kesalahan (memangnya ada pemimpin—presiden—di negeri ini yang tidak melakukan kesalahan? Juga tidak memiliki kekurangan?), kelebihannya mesti kita akui. Prestasi yang telah diperbuat bisa jadi merupakan bongkahan emas bagi pemimpin berikutnya agar tidak gagap dalam membuat serta memutuskan kebijakan. Kekurangan yang terdeteksi merupakan pelajaran bagi pemimpin baru agar tidak melakukan hal yang sama bahkan bisa jadi sebagai indikator untuk menyusun visi dan misi ke depan.

Saya teringat akan tiga buah buku yang menggugah dan mampu menggerakan pikiran dan perasaan agar kita banyak belajar dari pengalaman orang lain. Manajemen Kecerdasan, Quantum Ikhlas, dan Primal Leadership yang berturut-turut ditulis oleh Taufiq Pasiak, Erbe Sentanu, dan Daniel Goleman. Dalam Quantum Ikhlas, digagas bagaimana kita selangkah lebih maju dibanding ber-positive thinking, yakni positive feeling, sebuah kemampuan bagaimana kita merasakan sesuatu telah terjadi—saking sering kita merasakannya, ini tidak mendahului Tuhan—dengan niat yang baik dan ikhlas. Artinya, dengan berpikiran sesuatu telah terjadi maka insya Allah segala perasaan kita terjadi. Misalnya, rakyat Indonesia berpikiran bahwa negeri ini pada tahun 2015 telah menjadi negeri yang kembali disegani dunia, makmur, adil, dan sejahtera. Maka dengan izin Allah swt. terjadi.

Taufiq Pasiak dari penjelajahannya sebagai manusia yang sarat pengalaman berkecimpung diberbagai organisasi dan dengan ditunjang oleh sisi keilmuan yang mumpuni, menuliskan dalam Manajemen Kecerdasan, bahwa manusia memiliki empat kebutuhan jiwa yang menurut penemunya, psikolog McCleland, menjadi titik kunci keberhasilan (hlm. 173). Keempat kebutuhan jiwa tersebut adalah; 1) kebutuhan diterima (need of affiliation), 2) kebutuhan berkuasa (need of power), 3) kebutuhan berprestasi (need of achievement), dan 4) bebas dari kegagalan (free of failure).

Pada kebutuhan berkuasa, Pasiak menceritakan bahwa pada sebuah tim seringkali terjadi kegagalan. Sebabnya tampak sederhana: setiap orang dalam tim itu ingin tampil sebagai pemimpin tim. Kalau itu tidak berhasil, maka ia “menyalurkan” dalam bentuk lain. Ia menciptakan wilayah kekuasaan yang tidak bisa dijamah orang lain. Anda bisa bayangkan bagaimana jika setiap orang dalam tim ini membentuk wilayah kekuasaan masing-masing dan menjadi “jenderal” dalam wilayah itu (hlm. 176).

Pembaca, saya berpikiran itulah penyebab di negeri ini—setelah era orde baru tamat—begitu menjamurnya partai politik. Betapa tidak, pada Pemilu 1999 terdapat 48 partai, Pemilu 2004 melibatkan 24 partai, dan sekarang Pemilu 2009? Bisa jadi inilah yang menurut Pasiak terbentuk wilayah kekuasaan masing-masing. Sehingga tidak heran apabila masing-masing pemimpin atau kader partai dalam berorasi pada kampanye begitu meledak-ledak untuk “menyalahkan” partai yang sedang berkuasa. Agar partai yang dipimpinnya seolah tidak terjamah oleh orang lain alias merasa yang paling benar. Bukan begitu?

Seperti buku-buku lain karya Daniel Golemen mampu “mengubah” dunia, Primal Leadership pun demikian. Kata kunci dalam buku ini adalah pemimpin yang “resonan” versus “disonan”. Pemimpin disonan memiliki ciri-ciri umum seperti; kurang empati, emosi negatif, dan tidak memiliki kecerdasan emosi. Efek dalam kepemimpinan sering ditemukan ciri-ciri turunan misal; pemarah, bawahan menjadi defensif, menyerang pribadi-pribadi, tidak bertanggungjawab, suasana diliputi stres. Pemimpin seperti ini sangat sedikit (untuk dibilang tidak ada) melahirkan ide-ide brilian baik dari diri atau bawahannya. Bagaimana akan memunculkan ide brilian bila berada dekat pimpinan justru menjadi stress? Akibatnya ada atau tidak ada sang pemimpin bagi bawahan tidak menjadi masalah, bahkan lebih dominan bawahan menghendaki pemimpin sering-sering tidak berada di dekatnya. Ga ngaruh!.

Seringkali kita, sebagai bawahan merindukan kehadiran pimpinan yang suatu hari berhalangan masuk kantor. Hal demikian merupakan dampak positif dari seorang pemimpin resonan dimana kehadirannya memberikan getaran hebat. Getaran ini terus dirasakan sekalipun sang pemimpin tidak dekat dengan bawahan, artinya bawahan tetap melakukan aktifitas sesuai dengan job description masing-masing. Getarannya tetap menggerakkan siapa pun seolah sang pemimpin berada dekat sekali dengan kita.

Pemimpin resonan memiliki “kekhasan” mendengarkan perasaan orang lain serta mengarahkan mereka ke arah yang benar. Maka kondisi seperti; berbagi ide, keinginan belajar, keputusan kolaboratif, menuntaskan seluruh pekerjaan tercipta sehingga jangan kaget apabila keadaan organisasi diselimuti antusiasme tinggi, komitmen tinggi, serta efek emosional yang selalu bergetar.

Dalam skala besar, bisa jadi pemimpin partai yang berorasi seperti dicontohkan pada paragraf awal tulisan ini telah teritegrasi positive feeling dalam dirinya, orasi tidak melulu menghujat musuh politik, dan mampu menggetarkan emosi positif kehadapan khalayak dalam kebiasaan berucap dan bertindak.

Pun bila pemimpin seperti ini terpilih sebagai pemimpin bangsa atau mewakili rakyat di legislatif sepertinya rakyat tidak diliputi kegelisahan, hilang kepercayaan, pesimistis, kebingungan. Gelisah menunggu apa yang akan terjadi esok hari. Tidak percaya karena begitu banyak wakil rakyat yang justru memperkaya diri, bukan memperkaya rakyat. Pesimis tidak akan terjadi perubahan apabila sepak terjang para wakil tidak sesuai dengan janji-janji saat kampanye. Bingung, kok para wakil dalam menyelesaikan perbedaan malah berperilaku bak anak-anak TK (bahkan anak-anak PAUD kaleee…). Rakyat justru berharap sebuah kehidupan yang tenang.

Jadi wahai para calon presiden, calon legislatif, dan para jurkam berorasilah dengan cerdas tidak mengobral janji dan tidak menyalahkan lawan politik karena rakyat sudah bosan dengan janji-janji serta kami sangat tidak simpati dengan Anda yang berkampanye hanya fokus pada kesalahan-kesalahan orang lain seolah Anda yang paling hebat di Indonesia. Atau golput menjadi kata wajar buat kami? Tentu tidak, Anda-lah yang mengondisikannya.

Rabu, 01 April 2009

Murid Lintas Pulau

By: Agus Hermawan


Kalau Allah sudah menghendaki, apa pun terjadi. Sekali pun kita tidak berencana. Bu Elia Ulfah staf di Direktorat PSMA menelpon meminta kesediaan saya ditugaskan ke Palangkaraya Kalimantan Tengah untuk memfasilitasi kegiatan Pelatihan Kompetensi Tenaga Pendidik dari tanggal 23 sampai 25 Maret 2009.


Pembaca, saya menulis artikel ini sebagai rasa syukur kehadirat Allah swt. dan sekaligus ingin berbagi cerita menarik yang bisa jadi cerita tidak dialami oleh seluruh umat-Nya. Seperti saya ceritakan pada tulisan berjudul SMS, bahwa saya memiliki seorang “murid” di SMA Negeri 2 Pahandut Palangkaraya, Nisa namanya. Setelah cerita sms tersebut, anak ini betul-betul menjadi “murid” saya khususnya dalam ekstrakurikuler Jurnalistik. Entah berapa email yang Nisa kirimkan buat saya dan entah berapa jawaban saya kirimkan buat Nisa yang jelas ekstrakurikuler di sekolahnya telah mewujud bahkan telah melahirkan majalah dinding dan bulletin (siap launching) sekolah.


Nis klo pahandut itu nama kecamatan di plkraya? Trus plkraya itu ibukota dr kalteng?” ini merupakan kalimat sms yang saya kirim buat Nisa jam 08.57 di bandara Soekarno-Hatta. Saya pura-pura bloonkok guru ga tahu ibukota Kalteng?—namun saya pancing Nisa agar pikirannya klik dan sms tersebut spontan ditulis karena beberapa jam lagi saya bakal berada di Palangkaraya.


Iya bener pak, klo pahandut itu nama kecamatan, klo palangkaraya itu nama ibukota prov. Kalteng. Nama skul nisa bukan sma 2 phndut lg, tp sma 2 p.Raya. Oh, iya pak, kmrn siang nisa udh bc n bls email dr bpk. Makasih byk ya pak? Maaf pak, udh lama bgt nisa ga hubungin bpk.” Setelah sms balasan ini beberapa sms menyusul sampai saya tiba di Palangkaraya.


Lalu, “Klo nisa rmh di plkrya? Jauh ga ke asrama haji al-mabrur jl G OBOS?” dikirim 14.52. “Klo rmh nisa di jl. Tjilik riwit km 4,5 komp. Pondok cahaya mas no. 52. Klo dr rmh nisa ke asrama haji sekitar 8 kilo pak. Kenapa pak? Bpk ada di p.Raya ya?” Balas Nisa.
Iya ada tugas untuk memfasilitasi pelatihan guru-guru se-Kalteng. Nisa kan mau buku bpk, mau diambil ga?” Memang Nisa sudah membaca kedua buku saya namun karena bukan miliknya, Nisa ingin memiliki dan saya pernah menjajikan akan memberikan buku-buku tersebut namun tidak dipaket. Angan saya buku tersebut bisa dititipkan ke guru-guru di Palangkaraya apabila ketemu mereka disebuah kegiatan, dua minggu lalu saya lupa menitipkan kepada seorang guru Palangkaraya yang ketemu di Bandung. Atau diberikan langsung bila saya suatu waktu ditugaskan ke Palangkaraya.


Bpk curang, ga bilang2 ada di p.Raya. Rumah nisa, jauh dr bandara pak. Sejak kpn pak ada di p.Raya? Kpn nisa bias nemuin bpk?” balasnya. Beberapa sms saling tukar sampai sekira jam lima sore Nisa dengan diantar ibunya berkunjung ke asrama haji.


Bila Allah menghendaki suatu kejadian atau cita-cita atau keinginan maka terjadilah. Kami berjumpa, sebuah peristiwa luar biasa bermula dari buku, sms, email, lalu bertatap muka. Nisa, sebagaimana putri saya, Anne, duduk di kelas XI. Nisa berkecamata, nampak pintar, ingin serba tahu, reformis, dan memiliki intergritas tinggi, demikian kesan pertama saya. Dari dirinyalah ekstrakurikuler Jurnalistik lahir.


Bertiga dengan ibunya, kami berbincang seputar perjalanan dari Bandung menuju Palangkaraya, keadaan dan kondisi Palangkaraya, keluarga masing-masing, ekstrakurikuler Jurnalistik, dan topik-topik lainnya. Rupanya di keluarga Nisa banyak saudara-saudara yang terjun dibidang jurnalis sehingga tidak begitu aneh bila kejurnalistikkan dekat dengan diri Nisa. Tak terasa waktu mendekati maghrib, kami pun berpisah.


Lalu, “Assalamualaikum. Slmt mlm pak. Pak, bsk jadwal istirahatnya jam berapa aja? Insya Allah nisa sama temen2 mau ketemu bpk, mau curhat tentang jurnalistik”. “Istirahat pertama jam 12, selesai acara jam 16”. Siangnya (25 Maret), “Selamat siang pak. Pak, kami mau datangin bpk jam 4 sore nanti, stlh bpk acara penutupan. Bsa ga pak?”. “Tentu bisa dong…
Sekira jam empat sore mereka datang. Namun, acara pelatihan tidak tepat sesuai waktu yang telah ditentukan. Rupanya penutupan akan dilaksanakan jam 16.30. Namun demikian, saya kaget campur kagum ternyata Nisa datang dengan rombongan jurnalistiknya sehingga total sebelas orang. Bagai tim sepakbola saja, mereka adalah Kiki, Dita, Gace, Asri, Ayu, Maya, Yunita, Erlita, Ica, Erin, dan Nisa. Mereka mengajak saya untuk keliling Palangkaraya sore itu juga namun karena penutupan akan segera dimulai maka kami menyepakati janji baru, keliling Palangkaraya setelah sholat maghrib.


Di mata saya Palangkaraya sangat memesona, kota tidak padat penduduk sehingga mustahil ada kemacetan, jalannya pun relatif mulus memungkinkan duduk di mobil nyaman. Setelah beberapa saat keliling kami singgah di Taman Kota, taman kebanggaan warga Palangkaraya. Diluar dugaan, bak seorang penulis besar, saya diwawancarai sekaligus diabadikan dengan handycam, anak-anak jurnalistik SMA 2 Palangkaraya ini bergantian mewawancarai mulai dari bagaimana kiat agar majalah sekolah langgeng (di SMA 26 Bandung telah berumur empat tahun), cara memasarkan, sampai kiat-kiat menulis artikel. Dan pembaca menyambung tulisan berjudul SMS, Nisa cs betul-betul telah melahirkan majalah sekolah dan insya Allah akan launching Mei 2009 mendatang.


Pembaca, saya ingin menyampaikan tiga pesan dari tulisan ini. Pertama, sekali lagi bila Allah swt. berkehendak apa pun bisa terjadi seperti pertemuan saya dengan anak-anak jurnalis SMA 2 Palangkaraya. Kedua, melalui buku ditunjang dengan perkembangan teknologi-informasi, saya memiliki “murid” jarak jauh yang dibina melalui sarana sms dan email. Ketiga, optimalkan talenta yang ada pada diri kita sehingga memberikan efek luar biasa, misalnya dapat bersosialisasi serta berbagi ilmu dengan sahabat-sahabat di belahan nusantara. Tentu saja kepuasan aktualisasi diri benar-benar mewujud. Seperti digagas Maslow.


Tiga sms terakhir;


Slamat pagi pak. Selamat jalan ya pak, mg selamat sampai tujuan, amin. Maaf pak kami ga bsa ngantar ke bandara”.


Ga apa2, trims telah membuat sy kerasan di plkrya”.


Sama2 pak. Kami jg ngucapin makasih ats sgla nasehat, kiat2, n kt kunci integritasnya. Sampai ktmu lg ya pak… Salam jg utk tim jurnaliatik sma 26 bdg n_n”.

Rabu, 04 Maret 2009

Malukah (Aku) Jadi Orang Indonesia?

By: Agus Hermawan



Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak

Hukum tak tegak, doyong berderak-derak

Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, Lebuh Tun Razak,

Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza

Berjalan aku di Dam, Champs Élysées dan Mesopotamia

Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata

Dan kubenamkan topi baret di kepala

Malu aku jadi orang Indonesia.




Demikian potongan puisi karya pak Taufiq Ismail “Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia”. Saya tidak tahu pasti kapan pertama kali membaca puisi ini, atau barangkali sekira tahun 2001-an. Waktu itu sekolah tempat saya membimbing siswa mendapat kiriman buku kumpulan puisi karangan pak Taufiq Ismail dengan judul sama seperti judul puisi di atas. Lalu saya baca lembar demi lembar, semua puisi sungguh hebat, menawan, memesona, sekaligus menendang.

Begitu kuat magik ”Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia” sampai saya baca berkali-kali, bahkan saya sempat meminta seorang siswi untuk membacakan di depan kelas dihadapan kawan-kawannya. Saya punya niat agar semua siswa mendengar, menjiwai, dan memaknai kandungan puisi ini agar mereka menyadari keadaan Indonesia saat ini.

Sampai sekarang pun bila saya berpapasan dengan buku tersebut selalu saya baca dan resapi makna yang tergantung di dalamnya.

Tiba-tiba, kemarin siang—2 Maret 2009—saya teringat akan puisi favorit ini. Mas Eep Saefulloh Fatah-lah yang mengingatkan. Mas Eep menulis artikel berjudul ”Kepatutan Para Legislator” di Kompas (Minggu, 1 Maret 2009). Bila pembaca belum membaca artikel tersebut saya sarankan segera mencari Kompas edisi hari itu atau berselancar di internet untuk menemukannya.

Mas Eep menceritakan sebuah cerita yang dialami seorang diplomat Indonesia di Paris. Diplomat ini mendapat tugas untuk mengurus dan menemani sejumlah anggota DPR yang sedang melakukan studi banding di Paris.

Di tengah-tengah pertemuan antara anggota parlemen Perancis dengan anggota DPR (yang terhormat) sebuah kejadian—saya lebih suka dengan kata tragedi—terjadi. Dering dari telepon genggam terus-menerus memanggil para anggota dewan bergantian, mereka tidak mau me-silent-kan atau menggetarkan atau mematikannya. Sang diplomat pun mengingatkan bahwa di Perancis siapa pun tidak boleh bertelepon genggam saat sebuah pertemuan berlangsung.

Insiden ini bukan sekedar mempermalukan sang diplomat, tetapi juga Indonesia. Beberapa anggota parlemen Perancis tak menyembunyikan ekpresi wajah yang seolah-olah berkata, “Apakah di negaramu tak ada aturan untuk mematikan telepon genggam dalam ruang pertemuan semacam ini?!““ Tulis mas Eep.

Sebelum menulis artikel ini, Oktober 2008 yang lalu saya menulis artikel lain dengan judul “Teknologi vs Etika“ (yang insya Allah akan dipublikasikan dalam buku ketiga saya) yang isinya menyoroti bagaimana anggota dewan (yang terhormat) sedang bermesraan dengan telepon genggamnya padahal sidang sedang berlangsung, bisa jadi substansi sidang membahas puluhan nasib rakyat.

Pembaca, sang diplomat jelas-jelas merasa malu. Mas Eep pasti merasa malu. Saya pun yang hanya penulis mingguan sulit menahan amarah saking malu membaca kabar tersebut. Dan saya merasa yakin siapa pun Anda yang membaca artikel tersebut pasti merasa malu. Pokoknya bangsa Indonesia malu, kecuali para anggota dewan (yang terhormat) yang studi banding tadi. Namun, saya (sambil nulis artikel ini) tetap berdo’a semoga pak Taufiq Ismail tidak membaca tulisan mas Eep tersebut. Kenapa? Saya khawatir akan lahir lagi sebuah puisi spektakuler yang akan menelanjangi anggota dewan (yang terhormat), seperti yang telah dilakukan Slank.

Pembaca, tentu saja tulisan ini tidak sehebat karya mas Eep. Pembaca, tentu saja tulisan ini tak akan mampu menyadarkan anggota dewan (yang terhormat). Tetapi, sebagai seorang pendidik, saya disadarkan apa yang salah dengan pendidikan kita sehingga produknya yang nota bene memiliki ijazah tinggi berbudi pekerti atau tata krama demikian.

Pasti ada yang salah. Apakah penilaian kepribadian dan afeksi terhadap siswa kurang optimal? Apakah pembelajaran berdasar nilai-nilai moral sudah berkurang? Apakah aplikasi nilai-nilai budi pekerti telah hilang?

Terus terang saya belum mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, apalagi menjawab dengan cara instan alias asal jawab. Sepertinya diperlukan sebuah penelitian khusus untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas. Atau pembaca dapat membantu menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut?

Satu stimulus untuk kita pikirkan. Bagaimana dengan manusia Indonesia limabelas atau duapuluh tahun mendatang yang sekarang setiap menitnya tidak bisa lepas dari telepon genggam?

Atau bagaimana bila saya tantang pak Taufiq untuk melahirkan “Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia Edisi ke-2“?

Sabtu, 07 Februari 2009

SMS 2


By: Agus Hermawan

Bila saja pada tahun 2003-an majalah dinding di sekolah tempat saya mencerdaskan peserta didik tidak selalu kosong melompong, bisa jadi saya tidak pernah menjadi seorang penulis. Akibat dari kejanggalan itu saya menawarkan diri kepada pimpinan sekolah untuk menjadi pembina ekstrakurikuler majalah dinding. Dengan segala kesedarhanaan sekolah kami, saya tertantang untuk mencoba mengisi majalah dinding tersebut dengan karya anak-anak.

Bila saja pada tahun itu juga saya tidak ditugaskan untuk menjadi koordinator program baca, bisa jadi saya tidak akan pernah menjadi penulis. Melalui program ini, saya menciptakan program tambahan yakni resensi buku. Suatu tantangan bagi saya bagaimana merensi sebuah buku yang benar. Maka saya mencari buku-buku yang mengupas tentang resensi buku.

Dari kegiatan ekstrakurikuler majalah dinding, April 2005 lahirlah edisi perdana majalah sekolah yang kami beri nama DUANAM dan alhamdulillah sampai saat ini keberadaannya tetap eksis dengan durasi terbit tiga bulan sekali. Dari kegiatan program resensi, alhamdulillah beberapa hasil resensi buku anak-anak telah dimuat di surat kabar daerah.

Tulisan perdana saya pun alhamdulillah pertama dimuat di koran Pikiran Rakyat tanggal 7 Juli 2005. Disusul sepuluh hari kemudian di koran yang sama dimuat tulisan kedua.

Cerita di atas merupakan sejarah bagaimana akhirnya dengan seizin Allah Swt. saya mampu melahirkan dua buku bersejarah yakni, Agar Otak Tidak Beku Ajaklah Berselancar dan Belajar dari (Model) Kehidupan. Agar Otak Tidak Beku Ajaklah Berselancar bercerita tentang tips dan trik menulis yang sederhana, sesederhana pembaca membuat surat cinta. Sementara Belajar dari (Model) Kehidupan bercerita pengalaman dan refleksi saya terhadap pendidikan dan pembelajaran, mirip seperti artikel yang sedang Anda baca ini.

Melalui kedua buku inilah saya memiliki sahabat-sahabat baru se-Indonesia (bahkan Malaysia) mulai dari para guru maupun para peserta didik tingkat SMA. Dan karena kedua buku ini pula puluhan email dan sms mengisi dan memasuki memori laptop dan HP saya. Satu diantaranya sms berikut ini.

Pak Agus yang terhormat, saya peserta bintek KTSP di hotel Grand Aquila Bandung yang membeli 2 buku karangan bapak. Saya ingin mencoba menulis lagi yang selama ini saya endapkan karena putus asa. Sehari setelah membaca buku bapak saya bisa membuat satu tulisan yang ingin saya kirim ke sebuah surat kabar”. Sapa seseorang yang tak saya kenal.

Sms beliau dalam waktu lama tidak saya hapus, namun jawaban dari saya tentu saja begitu di send langsung melayang dan tidak terarsipkan sehingga perlu saya sampaikan kepada pembaca bahwa isi sms dari tamu saya ini adalah asli seratus persen tanpa diedit dan apalagi ditambah-tambah he…he…heh. Sementara balasan dari saya merupakan hasil ingatan dan reka ulang kembali yang semoga mendekati jawaban sesungguhnya.

Alhamdulillah bila buku saya menginspirasi kembali bapak/ibu untuk menulis. Apalagi bapak/ibu sebelumnya pernah menulis, saya pikir ini merupakan modal yang besar. Putus asa pun menjadi modal besar, setidaknya kita memahami sejarah kekurangan tempo hari. Oh ya, saya harap tulisan yang dihasilkan tadi segera dikirimkan ke sebuah surat kabar sekalipun surat kabar daerah. Dan tulisan yang dihasilkan ini merupakan langkah awal menjelajahi dunia kata kembali dan bukan langkah terakhir” jawab saya.

Jawaban balasan yang saya terima diluar dugaan, panjang dan berkesan, “Bisa jadi ini keinginan sesaat setelah membaca buku. Karena keinginan itu sudah sering muncul dan lama-lama hilang begitu saja. Sebenarnya dulu pernah menggebu-gebu ingin membuat tulisan ringan paling tidak sebulan satu naskah. Setelah dicoba berkali-kali cuma satu yang dimuat. Itu pun surat kabar lokal. Dah itu lama gak buat. Bisa jadi putus asa dan tahu diri. Kemarin muncul lagi dan jadi satu naskah ringan. Tapi masih ragu apakah tulisan itu layak dibaca orang (baca ketakutan hanya masa lalu!!!).

Potensi dan kecerdasan yang ada pada seseorang sesungguhnya mirip dengan api tinggal bagaimana kita menyalakannya agar berkobar terus. Itu sudah Anda lakukan. Anda pasti tahu Rowling penulis Harry Potter? Novel pertamanya ditolak oleh beberapa penerbit sebelum diterima oleh penerbit kacangan, dan sekarang? Jadi kirimlah sekalipun untuk ditolak, toh kita tinggal kirim lewat email, gak mahalkan! Oh ya kalau boleh tahu saya sms-an dengan siapa nih?”. Mudah-mudahan jawaban ini mampu memotivasi sang pe-sms.

Dengan teknologi dan informasi yang canggih saat ini sesungguhnya pekerjaan menulis menjadi sebuah pekerjaan yang relatif mudah dan dimudahkan. Maksudnya? Mudah, karena bila kita sudah memiliki sebuah gagasan dan menginginkan isi tulisan kita berbobot dan merangsang untuk dibaca maka kita tinggal menjalajah sumber-sumber pendukung dari internet, bahkan pembaca akan kewalahan menyeleksi dan memilihnya. Dimudahkan? Ya, karena kita tidak perlu repot-repot lagi untuk mengirimkan karya kita lewat jasa pos. Cukup kirim lewat email saja. Praktis kan!

Itulah yang saya kurang PD. Dulu pernah belajar membuat email. Baru mau belajar internet gangguan sampai sekarang bahkan macet. Sebenarnya kemarin-kemarin sudah punya pikiran mau meninggalkan IT. Tapi gak bisa ya pak Agus? O-ya ini dari pelosok Bengkulu. Betul-betul generasi yang ketinggalan IT. Tapi kalau yang muda-muda gak nampak ketinggalan”.

Ooooh… jadi beliau dari Bengkulu. Bapak atau ibu? Saudara atau saudari? Memang beberapa hari sebelum saya menerima sms ini saya ditugaskan Direktorat PSMA Depdiknas untuk menjadi fasilitator dalam bimbingan teknis KTSP dan SKM/SSN tingkat nasional di Hotel Grand Aquila Bandung dan atas seizin bu Diah serta bu Tuti, sekaligus mempromosikan kedua buku karya saya di atas.

Tak masalah. Kirim pakai jasa pos pun gak apa-apa yang penting dari pada karya kita hanya dinikmati sendiri lebih baik orang lain turut menikmatinya. Bahkan bisa jadi gagasan kita menjadi inspirasi dan bermakna buat orang lain. Untuk itu segeralah kirim tulisan Anda ke surat kabar. Saya yakin tulisan Anda pasti hebat, sehebat isi sms-sms yang dikrimkan ini!”.

Ya. Trims atas sarannya. Saya yakin dari beberapa sms saya bisa menjadi ide tulisan di tangan pak Agus. Semoga. Penggemar”. Demikian sms penutupnya.

Pembaca, bila dua paragraf tulisan awal ini tidak menjadi bagian sejarah hidup saya, belum tentu tulisan ini akan hadir untuk pembaca nikmati, setidaknya seperti harapan pe-sms di atas.

Wahai penggemarku (ge-er nich yeee....) tulisan ini saya persembahkan buat Anda.

Sabtu, 24 Januari 2009

Pengamen, Senyum, dan BBM

By: Agus Hermawan


Kamis, 22 Mei 2008 yang lalu, tepat sehari sebelum harga BBM diumumkan naik oleh pemerintah, saya mendapat pengalaman dan pelajaran yang luar biasa hebatnya.

Hari itu saya malakukan perjalanan dari Ciloto menuju Jakarta. Tepat jam 06.00 sebuah bis ekonomi jurusan Sumedang-Jakarta lewat di depan Wisma Haji Ciloto. Tanpa milah-milih (karena kalau megat di jalan sulit memilih) akhirnya bis non-AC tersebut saya naikki. Sebelum sampai di Bogor tidak ada kejadian yang aneh kecuali turun naiknya para pedagang asongan.

”Assalamualaikum warahmatullah wabarakatuh” demikian sapa seseorang setengah mengagetkan penumpang (yang anehnya pagi seperti ini banyak yang tertidur pulas atau tidur ayam). ”Dipagi yang cerah ini dan tampak mentari menebarkan senyum kehadapan kita, mohon maaf saya mengganggu penumpang dan perkenankan saya untuk memberi nuansa ceria dan menyegarkan” lanjut orang tersebut. ”Para penumpang yang akan berangkat kerja atau beraktifitas lainnya mulailah mengawali segalanya dengan senyuman, insya Allah sepanjang hari ini hati kita pun akan tersenyum”. Sesaat saya menoleh ke arah kanan, dan memang mentari menyeruak dari persembunyiannya dengan menshodaqohkan energi dan sinarnya yang memesona.



Sebenarnya ucapan orang ini tidak asing kita dengar apalagi bila pembaca seorang maniak buku-buku motivasi atau manajemen hidup. Bagi pembaca yang pernah mengikuti achievment motivation training (AMT), ungkapan ini pun bukan barang baru karena untaian kalimat ini merupakan sentuhan ’wajib’ buat qolbu peserta AMT. Apalagi para trainer pelatihan motivasi merupakan orang-orang hebat dengan sejuta pengalaman serta cara penyampaian yang menggugah, maka untaian kalimat di atas merangsang hati untuk melakukannya. Ingin rasanya hari esok tiba secepatnya agar senyuman segera kita tebarkan ke ’dunia’.

Namun, tahukah pembaca bahwa yang menyapa dan melontarkan kalimat-kalimat motivasi tadi adalah seorang pengamen. Berbekal sebuah gitar, penampilan keren ala artis kawakan (masudnya, rambut panjang) meluncurlah sebuah lagu, ”Selalu bersinar matahari diwaktu pagi hari, selalu bercahya purnama dimalam cerah. Bumi nusantara yang indah agung dan mulia, bumi nusantara tiada tandingannya. Lihatlah di sana gunung yang tinggi lautan membiru, lihatlah ......”. Olala, Nusantara VII karya grup band legendaris Koes Plus yang aslinya dilantunkan Murry meninabobokan seluruh penumpang, tak terkecuali saya.

Pikiran saya mundur beberapa tahun ke belakang hingga alam saya berada di sebuah ruang kelas SD tempat saya memanfaatkan waktu untuk mencari ilmu. Tak seorangpun guru-guru saya dalam mengajar menampakkan kelelahan, keluhan, atau nada-nada pesimis. Pun dalam wajah mereka selalu terpancar jiwa kebanggaan sebagai warga Indonesia. Mereka dengan berapi-api mengajarkan kepada saya bagaimana hebatnya para pahlawan dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan, menceritakan begitu indah dan kaya negeri ini sehingga membuat seluruh siswa merasa mulia bila suatu saat diberi kesemptan membela negeri ini, merasa tersanjung dengan kekayaan alam negerinya.

Tema Nusantara pun seolah menjada trade mark Koes Plus. Saat di SD itulah lagu-lagu Koes Plus seolah menjadi lagu sunat—lagu wajibnya, lagu-lagu nasional—bagi kami. Dan Nusantara selalu kami nyanyikan, anehnya dengan menyanyikan Nusantara rasa kebangsaan kami begitu mencuat seolah-olah kami akan menjadi penerus Pangeran Diponegoro, Patimura, Imam Bonjol, Dewi Sartika, Kartini, dan lain-lain. Dan keindahan nusantara senantiasa tergambar di depan mata persis seperti visual singkat ketika TVRI mengudara atau mau meninggalkan pemirsa dengan Indonesia Raya dan Rayuan Pulau Kelapa-nya.

Usai lagu pertama, ”Penumpang yang mulia, gerakkanlah jiwa dan raga Anda dengan langka-langkah penuh ke-ikhklasan niscaya seluruh pekerjaan Anda, seberat apa pun akan menjadi ringan. Sekali lagi, mulailah langkah Anda dengan ke-ikhlasan”. Pembaca, ungkapan ini bukan bait sebuah lagu tetapi murni ajakan pengamen ini kepada seluruh penumpang untuk melakukan aktifitas hari ini dengan ikhlas. Disela-sela lagu kedua (saya tidak tahu judulnya—memang dia gak ngasih judulnya kok—dan nampaknya lagu ini adalah hasil ciptaannya) yang bercerita tentang kota Surabaya, saya sampai berpikir kok hebat banget ilmu pengamen ini. Berapa buku yang pernah dibacanya, berapa koran yang dibacanya setiap hari, sehingga semua isi ucapannya begitu berbobot dan menggugah.

Saya jadi teringat akan sebuah ajakan yang menjadi favorit, ”Membaca bisa menggerakkan pikiran dan ucapan (semata). Akan tetapi membaca yang disertai menulis, apalagi menulis buku bisa menggerakkan dunia”. Saya yakin otak pengamen ini sarat dengan aneka ilmu kehidupan. Darimana dapat aneka ilmu tersebut? Membaca. Pasti membaca.

Lagu ketiga, saya hanya ingat judul dan penyanyinya, ’Kasih’, Ismi Azis. ”Penumpang, bapak sopir, dan kondektur sekalian sekali lagi saya mohon maaf telah menggangu perjalanan Anda. Sebelum berpisah, selain ke-ikhlasan, fokuskanlah pikiran Anda pada keluarga di rumah. Seluruh pikiran dan tenaga Anda hari ini dikobarkan tiada lain demi keluarga, bayangkanlah senyuman mereka selalu menyertai aktifitas Anda dan saya berharap saat Anda pulang nanti senyuman mereka tetap menyeruak menyapa Anda. Terimakasih sekali lagi...”.

Kejadian di atas terekam kembali ketika di rumah, saya menyaksikan lewat layar kaca antrean kendaraan bermotor di setiap SPBU pada detik-detik diumumkannya kenaikan harga BBM. Diantaranya beberapa mobil mewah. Saya berpikir kenapa mereka yang bermobil mewah turut ngantri. Inilah yang memunculkan senyuman dari bibir saya, ”Kok, sempat-sempatnya mereka turut ngantri. Padahal biarlah masyarakat kecil saja yang ngantri”. Mungkin arti luas senyum sang pengamen membuat saya tersenyum (sesungguhnya menertawai kelakuan mereka) menyaksikan pemandangan di layar kaca tersebut.

Sesuai pesan sang pengamen, Sabtu 24 Mei ini saya awali hari dengan banyak senyuman. Pertama, senyuman untuk seluruh penyelenggara (kita kan bukan penyelenggara ya?) negara yang seolah tutup mata, tak melihat puluhan demo terjadi selama beberapa minggu terakhir untuk menolak kenaikkan BBM. Seolah tutup telinga untuk mendengar puluhan alternatif solusi mengatasi kesulitan ekonomi dari para pakar ekonomi.

Kedua, senyuman untuk istri dan anak-anak (yang belakangan sering saya tinggalkan), semoga dengan diawali oleh senyuman keluarga kami tambah sakinah, mawadah, dan warrohmah, amin.

Ketiga, saya tersenyum karena memiliki waktu luang untuk berselencar mencari warna-warni kehidupan dari aneka buku (lebih sebulan saya gak sempat lagi nyari atau beli buku) yang siap saya santap isinya. Dengan rasa puas, lemari buku saya bertambah lima koleksi baru: Fight Like A Tiger Win Like A Champion, karya Darmadi Darmawangsa dan Imam Munadhi; Provokasi, karya Prasetya M. Brata; 10 Kebiasaan Sukses Tanpa Batas, karya Dr Ibrahim Hamd Al-Qu’ayyid; Cooperative Learning, karya Isjoni; dan Majalah Sekolah, karya R. Masri Sareb Putra.

Dan keempat, siang ini saya tersenyum puas karena telah menuntaskan sebuah artikel yang digagas sang pengamen. Terimakasih mas pengamen, walaupun saya tidak mengenal Anda, Anda telah menjadi guru baru saya. Juga, semoga senyum tidak pernah musnah dari qolbu saya walaupun kerap menyaksikan fenomena Indonesia yang semakin memiriskan nurani. Thanks...

Rabu, 21 Januari 2009

Dekatnya Laskar Pelangi


By: Agus Hermawan

Karena belum banyak informasi yang saya peroleh dan novel—saat ini—bukan jenis buku prioritas yang harus dibeli sehingga setumpukkan Laskar Pelangi hanya sepintas saya lihat. Itu pun karena cover-nya menarik, lalu sekelabat saya lihat penulisnya Andrea Hirata—maaf waktu itu belum ngetop he…3x—dan kembali novel ini saya simpan ditumpukkannya.

Saya lupa kejadian di atas terjadinya kapan, sampai seorang kawan—yang sering menjadi inspirasi dalam menulis—bertanya pada saya, “udah baca Laskar Pelangi belum?”. Saya belum sempat menjawab namun dia segera berkomentar “tahu gak Laskar Pelangi mengisahkan kehidupan di pulau Belitung!”. Agak kaget juga saya mendengar pulau Belitung—Andrea nulisnya Belitong, dan memang diucapkannya belitong. Betapa tidak, mulai Maret 1990 sampai Juni 1999 saya bertugas di pulau ini sebagai seorang guru di SMA Negeri 1 Tanjungpandan. Dan kawan saya tahu ini.

Lalu dia bercerita secara singkat tentang Laskar Pelangi. Cerita singkat ini membawa alam pikiran saya kebelasan tahun lalu, bagaimana indah dan memesonanya pulau Belitung. Suasana kehidupan yang telah begitu lama melekat dalam diri saya. Terbayang kedua orang tua angkat saya (bapak angkat meninggal tahun 2001, dan kami sekeluarga melayat ke Belitung) yang sampai saat ini tetap bersilaturahim. Betapa nikmatnya makanan-makanan khas Belitung; gangan, sambal rutip, mi rebus, lakse, dan lain-lain.

Delapan belas tahun dari saya menginjakkan kaki pertama di Belitung, tepatnya 14 Maret 2008 tidak tanggung saya beli ketiga novel Andrea; Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, dan Edensor. Sesungguhnya, karena ketertarikan ceritanya berlatar Belitung, Maryamah Karpov pun mau saya beli namun saat itu novelnya belum muncul kecuali cover-nya yang “diiklankan” dibelakang cover novel ketiganya. Nampak seorang gadis sedang memainkan biola dikerindangan pepohonan, mungkinkah dia Maryamah Karpov?

Bandung Super Mall, 6 November 2008 malam, setelah beberapa kali tertunda akhirnya saya bersama istri dan anak bungsu berkesempatan nonton film Laskar Pelangi. Entah mengapa setiap mau nonton film ini selalu ada halangan, padahal perbincangan film ini begitu santer dan menarik. Bahkan sebuah pertanyaan datang dari sahabat di Belitung, “Gus geus lalajo Laskar Pelangi can? Kumaha rame?” (“Gus udah nonton Laskar Pelangi belum?”). Sahabat ini, sekarang Kepala Sekolah di SMA Negeri 2 Tanjungpandan, asli Bandung, kawan kuliah di ITB, datang ke Belitung sama-sama, dapat isteri orang Belitung—dokter gigi lagi, sudah haji lagi, … Jadi tak aneh kalau pertanyaan berbahasa sunda.

Saya balik tanya, “ari maneh enggeus?” (“Kalau kamu udah?”). “Boro-boro!!! Pan di Tanjungpandan ayeuna mah euweuh bioskop!!! Matakna loba orang dieu nu ngahaja lalajo ka Bandung” (“Jangan harap!!! Kan di Tanjungpandan sekarang engga ada bioskop!!! Makanya banyak orang sini yang sengaja datang ke Bandung untuk nonton”). Seingat saya memang tahun sembilanpuluhan di Tanjungpandan hanya ada satu bioskop yang beroperasi, jadi masuk akal bila sekarang tidak ada satupun bioskop yang masih beroperasi.

Karena pertanyaan itulah, saya harus menyempatkan untuk nonton Laskar Pelangi. Begitu film dimulai ingatan dan pikiran saya—juga isteri saya—diposisikan kebelasan tahun yang lalu, bangunan rumah khas melayu dengan halaman yang luas, bahasa melayu yang familier di telinga, anak-anak gaya belitung, pemandangan pantai yang memesona, dan yang paling menarik suasana pasar yang unik dengan warung teh-nya. Saya dan isteri berkali-kali berucap spontan ketika film menayangkan sesuatu yang familier dengan ingatan kami. “Lihat pah…” atau “Seperti rumah nek Am…” atau “Itu kan pak Kolek… (adiknya nenek angkat anak-anak kami)” atau “Itu kan pak Rozali kawan papah ngajar… (pak Rozali, pemeran orang yang membacakan soal-soal dalam cepat tepat)” … atau…, dan “Aduh itu teh sahanya?, pokokna babaturan ngajar, mun teu salah guru ekonomi… trus ayeuna teh di SMAN 2…(saya menunjuk salah seorang supporter dalam cerdas cermat yang mengenakan kemeja putih)”.

Untuk menghilangkan rasa penasaran, siapa bapak supporter dalam film ini, begitu keluar dari BSM XXI segera saya sms sang Kepala SMAN 2 Tanjungpandan, “Yos (beliau benama Yosef Ediyono), ari nu macakeun soal-soal cepat tepat teh bener pak Rozali, ari nu jadi supporter make kameja bodas saha euy?” (“Yos, yang membacakan soal-soal cepat tepat itukan pak Rozali, kalau yang menjadi supporter berkemeja putih siapa?”). Tidak lama kemudian, “Bener, yg nonton pa fajeri smanda eta teh mahar aslina” (dikutip dari sms asli).

Mahar asli? Wow betapa dekatnya Laskar Pelangi dengan saya (GR nich…yech…). Maksud saya adalah selain saya mengenal begitu dekat Belitung, ternyata ada seorang anggota Laskar Pelangi yang saya kenal. Ahmad Fajeri alias Mahar, nama ini sangat saya kenal karena setidaknya kami pernah sama-sama mengajar di SMA PGRI Tanjungpandan. Dengan mengingat lagi orangnya, he…he…he… memang pak Fajeri ini begitu energik, kalau berbicara penuh semangat, ada nuansa humornya, cocok dengan si Mahar.

Jejak Laskar Pelangi di SCTV semakin menguatkan saya bahwa pak Fajeri benar-benar Mahar. Kebetulan siang itu saya berada di rumah, tiba-tiba isteri saya memanggil, “pah ini ada pak Fajeri di tv!”. Memang pak Fajeri menjadi tokoh utama anggota Laskar Pelangi dalam Jejak Laskar Pelangi ala SCTV hari ini. Benar-benar dekat Laskar Pelangi dengan saya.

Mungkinkah ada kejadian-kejadian lain yang menghubungkan antara saya dengan Laskar Pelangi? Setidaknya mimpi saya mewujud yaitu ingin bersua langsung dengan penulis besar sekaliber Andrea Hirata tidak hanya melihat di televisi. Semoga.

SMS



By: Agus Hermawan

“Salam kenal pak. Saya, nisa dr sma 2 pahandut palangkaraya. nisa baru aja selesai baca buku karya bpk agar otak tidak beku ajaklah berselancar. nisa bc lg, dan lg. wah, bgs sekali pak. serasa mjd manusia br, isinya keren pak. terus berkarya y pak! salam buat tmn2 di bandung. n_n.”

Sehari sebelum puasa, tepatnya 31 Agustus 2008 jam 16:07 saya menerima sebuah sms yang isinya seperti di atas (dikutip asli—tanpa diedit) dari sebuah nomor yang belum tercantum dalam daftar nama pada HP saya.
Sebelum isi sms di atas dibuka, tadinya saya berpikir bahwa semua sms yang masuk hari itu pastilah (dan terimakasih) berisi ucapan selamat menunaikan ibadah puasa—dengan berbagai variannya. “Slamat dtg dlm penerbangan RAMADHAN AIR, dg no penerbangan 1429H tujuan IDUL FITRI. Penumpang diwajibkan memakai sabuk PUASA & menegakkan kursi IMAN & TAQWA. Penerbangan ini adalah penerbangan BEBAS DOSA. Kami mengucapkan selamat menikmati penerbangan ini, SELAMAT BERPUASA”.

Itulah salah satu varian sms kreatif yang saya terima. Sms ini dikirim oleh sahabat lama (sekarang sedang menjabat sebagai Kepala Sekolah di Kabupaten Belitung Barat), kawan kuliah di ITB tahun delapanpuluhan. Dan sms di atas menjadi sangat lucu bila pembaca pernah bepergian menggunakan pesawat karena kalimatnya merupakan plesetan dari informasi baku dari seorang pramugari. Bagaimana pembaca? Kreatif kan?

Kita kembali ke-sms pertama. Karena datangnya dari nomor yang tidak dikenal, lalu saya jawab, “Salam kenal kembali. Terima kasih telah membaca dan tertarik dengan buku saya. Kalau boleh tahu, nisa ini siswi atau guru? Dan dari mana dapat buku karya saya? trims…". Dari gaya menulisnya saya meragukan bahwa nisa ini seorang guru. Namun, saya masih yakin bahwa siapa pun orangnya kalau menyebutkan dari sebuah SMA biasanya seorang guru. Mereka berasal dari sekolah yang pernah saya kunjungi atau pernah mengikuti pelatihan kurikulum yang salah seorang pematerinya adalah saya.

“Saya siswa pak kls XI. begini ceritanya pak, d sekolah saya belum ada ekskul jurnalistik, nisa&kwn2 mau mendirikannya, trus nisa izin dgn bu raya (wakasek kurikulum) beliau setuju. alhamdulillah. kemudian, bu raya bilang beliau punya buku yg bgs mengenai jurnalistik dn langsung dpt dr penulisnya, yaitu bpk. pak, sy boleh nanya2 ttg ekskul jurnalistik kn pak?makasih.”

Dugaan saya betul bahwa Nisa ini seorang siswa. Perlu saya sampaikan kehadapan pembaca bahwa saya telah menulis dua buku, yang pertama berjudul Agar Otak Tidak Beku Ajaklah Berselancar, dan kedua Belajar dari (Model) Kehidupan. Dua-duanya terbit tahun 2008. Agar Otak Tidak Beku Ajaklah Berselancar seperti yang diungkapkan Nisa salah satunya berisi tentang ekstrakurikuler jurnalistik. Memang, lahirnya buku pertama ini diilhami oleh salah satu tugas saya dalam turut mencerdaskan peserta didik sebagai pembina ekstrakurikuler jurnalistik.

Ekstrakurikuler Jurnalistik merupakan hasil metamorfosa dari ekstrakurikuler Mading yang saya gagas bersama kawan-kawan guru, kemudian berubah menjadi ekstrakurikuler Majalah Sekolah yang merupakan hasil evaluasi bersama peserta Mading. Nama ekstrakurikuler Majalah Sekolah muncul setelah pada semester sebelumnya kami berhasil melahirkan edisi pertama Majalah Sekolah (April 2004) dan alhamdulillah sekarang tetap langgeng.

Buku kedua, berisi tentang dunia pendidikan yang dominan bercerita tentang refleksi saya baik mengenai kegiatan pembelajaran di kelas atau kenyataan keberadaan pendidikan di Indonesia sekaligus bercerita tentang orang-orang yang care dan patut menjadi contoh untuk dunia pendidikan.

Luar biasa! Seorang siswa yang boleh jadi selama ini mencari “wadah” untuk mencuatkan potensi dalam menulis, kelas XI memiliki gagasan dan berani untuk melahirkan sebuah ekstrakurikuler baru yang selama ini belum ada di sekolahnya. Anak ini—yang oleh Gardner dikategorikan memiliki cerdas linguistik—tidak tahan lagi untuk meledakkan potensinya. Hebatnya, bu Raya langsung merespon positif kemauan Nisa bahkan memberikan sebuah buku agar keinginan Nisa dan kawan-kawannya mewujud.

Nisa merupakan satu dari ratusan anak Indonesia yang memiliki dan mampu mewujudkan sebuah impian besar. Impian Nisa ini belum tentu dapat dilahirkan oleh semua orang sekalipun seorang kepala sekolah atau guru.

“Sangat boleh. Bila Nisa punya pertanyaan yang membutuhkan jawaban secara mendetail kirim aja ke email saya, alamatnya ada pada buku. Ditunggu ya….”. Nisa bagi saya tidak berbeda dengan peserta didik yang ada di sekolah saya. Nisa lebih khusus lagi adalah peserta ekstrakurikuler jurnalistik di sekolah saya. Nisa adalah anak Indonesia yang perlu diakomodir keinginannya.

“Iya, makasih pak. n_n”. Inilah sms ketiganya. Akhirnya obrolan kami lewat sms-an terhenti. Namun, keyakinan dan harapan saya tidak akan berhenti di sini. Keyakinan saya pun sangat besar bahwa ekstrakurikuler Jurnalistik benar-benar lahir di sekolah Nisa. Email adalah sarana kami untuk ngobrol dan membincangkan tetek-bengek ekstrakurikuler jurnalistik.

Semoga bara api keinginan seorang Nisa tidak padam tersiram tantangan yang menghadang. Semoga kecerdasan linguistik seorang Nisa mencuat dengan lahirnya ekstrakurikuler jurnalistik di SMA 2 Pahandut. Semoga lahir pula pembina-pembina yang memiliki kemauan sebesar kemauan Nisa. Semoga mereka memiliki keikhlasan untuk membina Nisa dan kawan-kawannya. Dan, semoga majalah sekolah segera lahir di SMA 2 Pahandut. Begitu kan Nisa?

Senin, 19 Januari 2009

Sekilas Ala Pendidik An

Sesuai dengan namanya, Ala Pendidik An, blog ini mengajak kepada rekan-rekan (pendidik), anak-anakku (peserta didik), dan atau siapa pun yang ingin bercerita tentang pendidikan. Anda bisa berbagi cerita, opini, puisi, cerpen atau apa pun yang bersentuhan dengan pendidikan. Sekecil apa pun sentuhannya yang jelas ending-nya memperbaiki pendidikan di Indonesia, sedikit-sedikit tanpa berhenti. Orang Jepang bilang kaizen. Jadi, bagi Anda yang cinta pendidikan berbagilah.