Sabtu, 07 Februari 2009

SMS 2


By: Agus Hermawan

Bila saja pada tahun 2003-an majalah dinding di sekolah tempat saya mencerdaskan peserta didik tidak selalu kosong melompong, bisa jadi saya tidak pernah menjadi seorang penulis. Akibat dari kejanggalan itu saya menawarkan diri kepada pimpinan sekolah untuk menjadi pembina ekstrakurikuler majalah dinding. Dengan segala kesedarhanaan sekolah kami, saya tertantang untuk mencoba mengisi majalah dinding tersebut dengan karya anak-anak.

Bila saja pada tahun itu juga saya tidak ditugaskan untuk menjadi koordinator program baca, bisa jadi saya tidak akan pernah menjadi penulis. Melalui program ini, saya menciptakan program tambahan yakni resensi buku. Suatu tantangan bagi saya bagaimana merensi sebuah buku yang benar. Maka saya mencari buku-buku yang mengupas tentang resensi buku.

Dari kegiatan ekstrakurikuler majalah dinding, April 2005 lahirlah edisi perdana majalah sekolah yang kami beri nama DUANAM dan alhamdulillah sampai saat ini keberadaannya tetap eksis dengan durasi terbit tiga bulan sekali. Dari kegiatan program resensi, alhamdulillah beberapa hasil resensi buku anak-anak telah dimuat di surat kabar daerah.

Tulisan perdana saya pun alhamdulillah pertama dimuat di koran Pikiran Rakyat tanggal 7 Juli 2005. Disusul sepuluh hari kemudian di koran yang sama dimuat tulisan kedua.

Cerita di atas merupakan sejarah bagaimana akhirnya dengan seizin Allah Swt. saya mampu melahirkan dua buku bersejarah yakni, Agar Otak Tidak Beku Ajaklah Berselancar dan Belajar dari (Model) Kehidupan. Agar Otak Tidak Beku Ajaklah Berselancar bercerita tentang tips dan trik menulis yang sederhana, sesederhana pembaca membuat surat cinta. Sementara Belajar dari (Model) Kehidupan bercerita pengalaman dan refleksi saya terhadap pendidikan dan pembelajaran, mirip seperti artikel yang sedang Anda baca ini.

Melalui kedua buku inilah saya memiliki sahabat-sahabat baru se-Indonesia (bahkan Malaysia) mulai dari para guru maupun para peserta didik tingkat SMA. Dan karena kedua buku ini pula puluhan email dan sms mengisi dan memasuki memori laptop dan HP saya. Satu diantaranya sms berikut ini.

Pak Agus yang terhormat, saya peserta bintek KTSP di hotel Grand Aquila Bandung yang membeli 2 buku karangan bapak. Saya ingin mencoba menulis lagi yang selama ini saya endapkan karena putus asa. Sehari setelah membaca buku bapak saya bisa membuat satu tulisan yang ingin saya kirim ke sebuah surat kabar”. Sapa seseorang yang tak saya kenal.

Sms beliau dalam waktu lama tidak saya hapus, namun jawaban dari saya tentu saja begitu di send langsung melayang dan tidak terarsipkan sehingga perlu saya sampaikan kepada pembaca bahwa isi sms dari tamu saya ini adalah asli seratus persen tanpa diedit dan apalagi ditambah-tambah he…he…heh. Sementara balasan dari saya merupakan hasil ingatan dan reka ulang kembali yang semoga mendekati jawaban sesungguhnya.

Alhamdulillah bila buku saya menginspirasi kembali bapak/ibu untuk menulis. Apalagi bapak/ibu sebelumnya pernah menulis, saya pikir ini merupakan modal yang besar. Putus asa pun menjadi modal besar, setidaknya kita memahami sejarah kekurangan tempo hari. Oh ya, saya harap tulisan yang dihasilkan tadi segera dikirimkan ke sebuah surat kabar sekalipun surat kabar daerah. Dan tulisan yang dihasilkan ini merupakan langkah awal menjelajahi dunia kata kembali dan bukan langkah terakhir” jawab saya.

Jawaban balasan yang saya terima diluar dugaan, panjang dan berkesan, “Bisa jadi ini keinginan sesaat setelah membaca buku. Karena keinginan itu sudah sering muncul dan lama-lama hilang begitu saja. Sebenarnya dulu pernah menggebu-gebu ingin membuat tulisan ringan paling tidak sebulan satu naskah. Setelah dicoba berkali-kali cuma satu yang dimuat. Itu pun surat kabar lokal. Dah itu lama gak buat. Bisa jadi putus asa dan tahu diri. Kemarin muncul lagi dan jadi satu naskah ringan. Tapi masih ragu apakah tulisan itu layak dibaca orang (baca ketakutan hanya masa lalu!!!).

Potensi dan kecerdasan yang ada pada seseorang sesungguhnya mirip dengan api tinggal bagaimana kita menyalakannya agar berkobar terus. Itu sudah Anda lakukan. Anda pasti tahu Rowling penulis Harry Potter? Novel pertamanya ditolak oleh beberapa penerbit sebelum diterima oleh penerbit kacangan, dan sekarang? Jadi kirimlah sekalipun untuk ditolak, toh kita tinggal kirim lewat email, gak mahalkan! Oh ya kalau boleh tahu saya sms-an dengan siapa nih?”. Mudah-mudahan jawaban ini mampu memotivasi sang pe-sms.

Dengan teknologi dan informasi yang canggih saat ini sesungguhnya pekerjaan menulis menjadi sebuah pekerjaan yang relatif mudah dan dimudahkan. Maksudnya? Mudah, karena bila kita sudah memiliki sebuah gagasan dan menginginkan isi tulisan kita berbobot dan merangsang untuk dibaca maka kita tinggal menjalajah sumber-sumber pendukung dari internet, bahkan pembaca akan kewalahan menyeleksi dan memilihnya. Dimudahkan? Ya, karena kita tidak perlu repot-repot lagi untuk mengirimkan karya kita lewat jasa pos. Cukup kirim lewat email saja. Praktis kan!

Itulah yang saya kurang PD. Dulu pernah belajar membuat email. Baru mau belajar internet gangguan sampai sekarang bahkan macet. Sebenarnya kemarin-kemarin sudah punya pikiran mau meninggalkan IT. Tapi gak bisa ya pak Agus? O-ya ini dari pelosok Bengkulu. Betul-betul generasi yang ketinggalan IT. Tapi kalau yang muda-muda gak nampak ketinggalan”.

Ooooh… jadi beliau dari Bengkulu. Bapak atau ibu? Saudara atau saudari? Memang beberapa hari sebelum saya menerima sms ini saya ditugaskan Direktorat PSMA Depdiknas untuk menjadi fasilitator dalam bimbingan teknis KTSP dan SKM/SSN tingkat nasional di Hotel Grand Aquila Bandung dan atas seizin bu Diah serta bu Tuti, sekaligus mempromosikan kedua buku karya saya di atas.

Tak masalah. Kirim pakai jasa pos pun gak apa-apa yang penting dari pada karya kita hanya dinikmati sendiri lebih baik orang lain turut menikmatinya. Bahkan bisa jadi gagasan kita menjadi inspirasi dan bermakna buat orang lain. Untuk itu segeralah kirim tulisan Anda ke surat kabar. Saya yakin tulisan Anda pasti hebat, sehebat isi sms-sms yang dikrimkan ini!”.

Ya. Trims atas sarannya. Saya yakin dari beberapa sms saya bisa menjadi ide tulisan di tangan pak Agus. Semoga. Penggemar”. Demikian sms penutupnya.

Pembaca, bila dua paragraf tulisan awal ini tidak menjadi bagian sejarah hidup saya, belum tentu tulisan ini akan hadir untuk pembaca nikmati, setidaknya seperti harapan pe-sms di atas.

Wahai penggemarku (ge-er nich yeee....) tulisan ini saya persembahkan buat Anda.

2 komentar:

  1. Bpk ide-idenya brilian, saya salut...

    BalasHapus
  2. Nggak Pede? takut ditolak? tidak siap untuk kecewa? merasa kurang terus? kadang aku juga gitu....

    BalasHapus