Rabu, 04 Maret 2009

Malukah (Aku) Jadi Orang Indonesia?

By: Agus Hermawan



Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak

Hukum tak tegak, doyong berderak-derak

Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, Lebuh Tun Razak,

Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza

Berjalan aku di Dam, Champs Élysées dan Mesopotamia

Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata

Dan kubenamkan topi baret di kepala

Malu aku jadi orang Indonesia.




Demikian potongan puisi karya pak Taufiq Ismail “Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia”. Saya tidak tahu pasti kapan pertama kali membaca puisi ini, atau barangkali sekira tahun 2001-an. Waktu itu sekolah tempat saya membimbing siswa mendapat kiriman buku kumpulan puisi karangan pak Taufiq Ismail dengan judul sama seperti judul puisi di atas. Lalu saya baca lembar demi lembar, semua puisi sungguh hebat, menawan, memesona, sekaligus menendang.

Begitu kuat magik ”Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia” sampai saya baca berkali-kali, bahkan saya sempat meminta seorang siswi untuk membacakan di depan kelas dihadapan kawan-kawannya. Saya punya niat agar semua siswa mendengar, menjiwai, dan memaknai kandungan puisi ini agar mereka menyadari keadaan Indonesia saat ini.

Sampai sekarang pun bila saya berpapasan dengan buku tersebut selalu saya baca dan resapi makna yang tergantung di dalamnya.

Tiba-tiba, kemarin siang—2 Maret 2009—saya teringat akan puisi favorit ini. Mas Eep Saefulloh Fatah-lah yang mengingatkan. Mas Eep menulis artikel berjudul ”Kepatutan Para Legislator” di Kompas (Minggu, 1 Maret 2009). Bila pembaca belum membaca artikel tersebut saya sarankan segera mencari Kompas edisi hari itu atau berselancar di internet untuk menemukannya.

Mas Eep menceritakan sebuah cerita yang dialami seorang diplomat Indonesia di Paris. Diplomat ini mendapat tugas untuk mengurus dan menemani sejumlah anggota DPR yang sedang melakukan studi banding di Paris.

Di tengah-tengah pertemuan antara anggota parlemen Perancis dengan anggota DPR (yang terhormat) sebuah kejadian—saya lebih suka dengan kata tragedi—terjadi. Dering dari telepon genggam terus-menerus memanggil para anggota dewan bergantian, mereka tidak mau me-silent-kan atau menggetarkan atau mematikannya. Sang diplomat pun mengingatkan bahwa di Perancis siapa pun tidak boleh bertelepon genggam saat sebuah pertemuan berlangsung.

Insiden ini bukan sekedar mempermalukan sang diplomat, tetapi juga Indonesia. Beberapa anggota parlemen Perancis tak menyembunyikan ekpresi wajah yang seolah-olah berkata, “Apakah di negaramu tak ada aturan untuk mematikan telepon genggam dalam ruang pertemuan semacam ini?!““ Tulis mas Eep.

Sebelum menulis artikel ini, Oktober 2008 yang lalu saya menulis artikel lain dengan judul “Teknologi vs Etika“ (yang insya Allah akan dipublikasikan dalam buku ketiga saya) yang isinya menyoroti bagaimana anggota dewan (yang terhormat) sedang bermesraan dengan telepon genggamnya padahal sidang sedang berlangsung, bisa jadi substansi sidang membahas puluhan nasib rakyat.

Pembaca, sang diplomat jelas-jelas merasa malu. Mas Eep pasti merasa malu. Saya pun yang hanya penulis mingguan sulit menahan amarah saking malu membaca kabar tersebut. Dan saya merasa yakin siapa pun Anda yang membaca artikel tersebut pasti merasa malu. Pokoknya bangsa Indonesia malu, kecuali para anggota dewan (yang terhormat) yang studi banding tadi. Namun, saya (sambil nulis artikel ini) tetap berdo’a semoga pak Taufiq Ismail tidak membaca tulisan mas Eep tersebut. Kenapa? Saya khawatir akan lahir lagi sebuah puisi spektakuler yang akan menelanjangi anggota dewan (yang terhormat), seperti yang telah dilakukan Slank.

Pembaca, tentu saja tulisan ini tidak sehebat karya mas Eep. Pembaca, tentu saja tulisan ini tak akan mampu menyadarkan anggota dewan (yang terhormat). Tetapi, sebagai seorang pendidik, saya disadarkan apa yang salah dengan pendidikan kita sehingga produknya yang nota bene memiliki ijazah tinggi berbudi pekerti atau tata krama demikian.

Pasti ada yang salah. Apakah penilaian kepribadian dan afeksi terhadap siswa kurang optimal? Apakah pembelajaran berdasar nilai-nilai moral sudah berkurang? Apakah aplikasi nilai-nilai budi pekerti telah hilang?

Terus terang saya belum mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, apalagi menjawab dengan cara instan alias asal jawab. Sepertinya diperlukan sebuah penelitian khusus untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas. Atau pembaca dapat membantu menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut?

Satu stimulus untuk kita pikirkan. Bagaimana dengan manusia Indonesia limabelas atau duapuluh tahun mendatang yang sekarang setiap menitnya tidak bisa lepas dari telepon genggam?

Atau bagaimana bila saya tantang pak Taufiq untuk melahirkan “Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia Edisi ke-2“?