Sabtu, 24 Januari 2009

Pengamen, Senyum, dan BBM

By: Agus Hermawan


Kamis, 22 Mei 2008 yang lalu, tepat sehari sebelum harga BBM diumumkan naik oleh pemerintah, saya mendapat pengalaman dan pelajaran yang luar biasa hebatnya.

Hari itu saya malakukan perjalanan dari Ciloto menuju Jakarta. Tepat jam 06.00 sebuah bis ekonomi jurusan Sumedang-Jakarta lewat di depan Wisma Haji Ciloto. Tanpa milah-milih (karena kalau megat di jalan sulit memilih) akhirnya bis non-AC tersebut saya naikki. Sebelum sampai di Bogor tidak ada kejadian yang aneh kecuali turun naiknya para pedagang asongan.

”Assalamualaikum warahmatullah wabarakatuh” demikian sapa seseorang setengah mengagetkan penumpang (yang anehnya pagi seperti ini banyak yang tertidur pulas atau tidur ayam). ”Dipagi yang cerah ini dan tampak mentari menebarkan senyum kehadapan kita, mohon maaf saya mengganggu penumpang dan perkenankan saya untuk memberi nuansa ceria dan menyegarkan” lanjut orang tersebut. ”Para penumpang yang akan berangkat kerja atau beraktifitas lainnya mulailah mengawali segalanya dengan senyuman, insya Allah sepanjang hari ini hati kita pun akan tersenyum”. Sesaat saya menoleh ke arah kanan, dan memang mentari menyeruak dari persembunyiannya dengan menshodaqohkan energi dan sinarnya yang memesona.



Sebenarnya ucapan orang ini tidak asing kita dengar apalagi bila pembaca seorang maniak buku-buku motivasi atau manajemen hidup. Bagi pembaca yang pernah mengikuti achievment motivation training (AMT), ungkapan ini pun bukan barang baru karena untaian kalimat ini merupakan sentuhan ’wajib’ buat qolbu peserta AMT. Apalagi para trainer pelatihan motivasi merupakan orang-orang hebat dengan sejuta pengalaman serta cara penyampaian yang menggugah, maka untaian kalimat di atas merangsang hati untuk melakukannya. Ingin rasanya hari esok tiba secepatnya agar senyuman segera kita tebarkan ke ’dunia’.

Namun, tahukah pembaca bahwa yang menyapa dan melontarkan kalimat-kalimat motivasi tadi adalah seorang pengamen. Berbekal sebuah gitar, penampilan keren ala artis kawakan (masudnya, rambut panjang) meluncurlah sebuah lagu, ”Selalu bersinar matahari diwaktu pagi hari, selalu bercahya purnama dimalam cerah. Bumi nusantara yang indah agung dan mulia, bumi nusantara tiada tandingannya. Lihatlah di sana gunung yang tinggi lautan membiru, lihatlah ......”. Olala, Nusantara VII karya grup band legendaris Koes Plus yang aslinya dilantunkan Murry meninabobokan seluruh penumpang, tak terkecuali saya.

Pikiran saya mundur beberapa tahun ke belakang hingga alam saya berada di sebuah ruang kelas SD tempat saya memanfaatkan waktu untuk mencari ilmu. Tak seorangpun guru-guru saya dalam mengajar menampakkan kelelahan, keluhan, atau nada-nada pesimis. Pun dalam wajah mereka selalu terpancar jiwa kebanggaan sebagai warga Indonesia. Mereka dengan berapi-api mengajarkan kepada saya bagaimana hebatnya para pahlawan dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan, menceritakan begitu indah dan kaya negeri ini sehingga membuat seluruh siswa merasa mulia bila suatu saat diberi kesemptan membela negeri ini, merasa tersanjung dengan kekayaan alam negerinya.

Tema Nusantara pun seolah menjada trade mark Koes Plus. Saat di SD itulah lagu-lagu Koes Plus seolah menjadi lagu sunat—lagu wajibnya, lagu-lagu nasional—bagi kami. Dan Nusantara selalu kami nyanyikan, anehnya dengan menyanyikan Nusantara rasa kebangsaan kami begitu mencuat seolah-olah kami akan menjadi penerus Pangeran Diponegoro, Patimura, Imam Bonjol, Dewi Sartika, Kartini, dan lain-lain. Dan keindahan nusantara senantiasa tergambar di depan mata persis seperti visual singkat ketika TVRI mengudara atau mau meninggalkan pemirsa dengan Indonesia Raya dan Rayuan Pulau Kelapa-nya.

Usai lagu pertama, ”Penumpang yang mulia, gerakkanlah jiwa dan raga Anda dengan langka-langkah penuh ke-ikhklasan niscaya seluruh pekerjaan Anda, seberat apa pun akan menjadi ringan. Sekali lagi, mulailah langkah Anda dengan ke-ikhlasan”. Pembaca, ungkapan ini bukan bait sebuah lagu tetapi murni ajakan pengamen ini kepada seluruh penumpang untuk melakukan aktifitas hari ini dengan ikhlas. Disela-sela lagu kedua (saya tidak tahu judulnya—memang dia gak ngasih judulnya kok—dan nampaknya lagu ini adalah hasil ciptaannya) yang bercerita tentang kota Surabaya, saya sampai berpikir kok hebat banget ilmu pengamen ini. Berapa buku yang pernah dibacanya, berapa koran yang dibacanya setiap hari, sehingga semua isi ucapannya begitu berbobot dan menggugah.

Saya jadi teringat akan sebuah ajakan yang menjadi favorit, ”Membaca bisa menggerakkan pikiran dan ucapan (semata). Akan tetapi membaca yang disertai menulis, apalagi menulis buku bisa menggerakkan dunia”. Saya yakin otak pengamen ini sarat dengan aneka ilmu kehidupan. Darimana dapat aneka ilmu tersebut? Membaca. Pasti membaca.

Lagu ketiga, saya hanya ingat judul dan penyanyinya, ’Kasih’, Ismi Azis. ”Penumpang, bapak sopir, dan kondektur sekalian sekali lagi saya mohon maaf telah menggangu perjalanan Anda. Sebelum berpisah, selain ke-ikhlasan, fokuskanlah pikiran Anda pada keluarga di rumah. Seluruh pikiran dan tenaga Anda hari ini dikobarkan tiada lain demi keluarga, bayangkanlah senyuman mereka selalu menyertai aktifitas Anda dan saya berharap saat Anda pulang nanti senyuman mereka tetap menyeruak menyapa Anda. Terimakasih sekali lagi...”.

Kejadian di atas terekam kembali ketika di rumah, saya menyaksikan lewat layar kaca antrean kendaraan bermotor di setiap SPBU pada detik-detik diumumkannya kenaikan harga BBM. Diantaranya beberapa mobil mewah. Saya berpikir kenapa mereka yang bermobil mewah turut ngantri. Inilah yang memunculkan senyuman dari bibir saya, ”Kok, sempat-sempatnya mereka turut ngantri. Padahal biarlah masyarakat kecil saja yang ngantri”. Mungkin arti luas senyum sang pengamen membuat saya tersenyum (sesungguhnya menertawai kelakuan mereka) menyaksikan pemandangan di layar kaca tersebut.

Sesuai pesan sang pengamen, Sabtu 24 Mei ini saya awali hari dengan banyak senyuman. Pertama, senyuman untuk seluruh penyelenggara (kita kan bukan penyelenggara ya?) negara yang seolah tutup mata, tak melihat puluhan demo terjadi selama beberapa minggu terakhir untuk menolak kenaikkan BBM. Seolah tutup telinga untuk mendengar puluhan alternatif solusi mengatasi kesulitan ekonomi dari para pakar ekonomi.

Kedua, senyuman untuk istri dan anak-anak (yang belakangan sering saya tinggalkan), semoga dengan diawali oleh senyuman keluarga kami tambah sakinah, mawadah, dan warrohmah, amin.

Ketiga, saya tersenyum karena memiliki waktu luang untuk berselencar mencari warna-warni kehidupan dari aneka buku (lebih sebulan saya gak sempat lagi nyari atau beli buku) yang siap saya santap isinya. Dengan rasa puas, lemari buku saya bertambah lima koleksi baru: Fight Like A Tiger Win Like A Champion, karya Darmadi Darmawangsa dan Imam Munadhi; Provokasi, karya Prasetya M. Brata; 10 Kebiasaan Sukses Tanpa Batas, karya Dr Ibrahim Hamd Al-Qu’ayyid; Cooperative Learning, karya Isjoni; dan Majalah Sekolah, karya R. Masri Sareb Putra.

Dan keempat, siang ini saya tersenyum puas karena telah menuntaskan sebuah artikel yang digagas sang pengamen. Terimakasih mas pengamen, walaupun saya tidak mengenal Anda, Anda telah menjadi guru baru saya. Juga, semoga senyum tidak pernah musnah dari qolbu saya walaupun kerap menyaksikan fenomena Indonesia yang semakin memiriskan nurani. Thanks...

Rabu, 21 Januari 2009

Dekatnya Laskar Pelangi


By: Agus Hermawan

Karena belum banyak informasi yang saya peroleh dan novel—saat ini—bukan jenis buku prioritas yang harus dibeli sehingga setumpukkan Laskar Pelangi hanya sepintas saya lihat. Itu pun karena cover-nya menarik, lalu sekelabat saya lihat penulisnya Andrea Hirata—maaf waktu itu belum ngetop he…3x—dan kembali novel ini saya simpan ditumpukkannya.

Saya lupa kejadian di atas terjadinya kapan, sampai seorang kawan—yang sering menjadi inspirasi dalam menulis—bertanya pada saya, “udah baca Laskar Pelangi belum?”. Saya belum sempat menjawab namun dia segera berkomentar “tahu gak Laskar Pelangi mengisahkan kehidupan di pulau Belitung!”. Agak kaget juga saya mendengar pulau Belitung—Andrea nulisnya Belitong, dan memang diucapkannya belitong. Betapa tidak, mulai Maret 1990 sampai Juni 1999 saya bertugas di pulau ini sebagai seorang guru di SMA Negeri 1 Tanjungpandan. Dan kawan saya tahu ini.

Lalu dia bercerita secara singkat tentang Laskar Pelangi. Cerita singkat ini membawa alam pikiran saya kebelasan tahun lalu, bagaimana indah dan memesonanya pulau Belitung. Suasana kehidupan yang telah begitu lama melekat dalam diri saya. Terbayang kedua orang tua angkat saya (bapak angkat meninggal tahun 2001, dan kami sekeluarga melayat ke Belitung) yang sampai saat ini tetap bersilaturahim. Betapa nikmatnya makanan-makanan khas Belitung; gangan, sambal rutip, mi rebus, lakse, dan lain-lain.

Delapan belas tahun dari saya menginjakkan kaki pertama di Belitung, tepatnya 14 Maret 2008 tidak tanggung saya beli ketiga novel Andrea; Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, dan Edensor. Sesungguhnya, karena ketertarikan ceritanya berlatar Belitung, Maryamah Karpov pun mau saya beli namun saat itu novelnya belum muncul kecuali cover-nya yang “diiklankan” dibelakang cover novel ketiganya. Nampak seorang gadis sedang memainkan biola dikerindangan pepohonan, mungkinkah dia Maryamah Karpov?

Bandung Super Mall, 6 November 2008 malam, setelah beberapa kali tertunda akhirnya saya bersama istri dan anak bungsu berkesempatan nonton film Laskar Pelangi. Entah mengapa setiap mau nonton film ini selalu ada halangan, padahal perbincangan film ini begitu santer dan menarik. Bahkan sebuah pertanyaan datang dari sahabat di Belitung, “Gus geus lalajo Laskar Pelangi can? Kumaha rame?” (“Gus udah nonton Laskar Pelangi belum?”). Sahabat ini, sekarang Kepala Sekolah di SMA Negeri 2 Tanjungpandan, asli Bandung, kawan kuliah di ITB, datang ke Belitung sama-sama, dapat isteri orang Belitung—dokter gigi lagi, sudah haji lagi, … Jadi tak aneh kalau pertanyaan berbahasa sunda.

Saya balik tanya, “ari maneh enggeus?” (“Kalau kamu udah?”). “Boro-boro!!! Pan di Tanjungpandan ayeuna mah euweuh bioskop!!! Matakna loba orang dieu nu ngahaja lalajo ka Bandung” (“Jangan harap!!! Kan di Tanjungpandan sekarang engga ada bioskop!!! Makanya banyak orang sini yang sengaja datang ke Bandung untuk nonton”). Seingat saya memang tahun sembilanpuluhan di Tanjungpandan hanya ada satu bioskop yang beroperasi, jadi masuk akal bila sekarang tidak ada satupun bioskop yang masih beroperasi.

Karena pertanyaan itulah, saya harus menyempatkan untuk nonton Laskar Pelangi. Begitu film dimulai ingatan dan pikiran saya—juga isteri saya—diposisikan kebelasan tahun yang lalu, bangunan rumah khas melayu dengan halaman yang luas, bahasa melayu yang familier di telinga, anak-anak gaya belitung, pemandangan pantai yang memesona, dan yang paling menarik suasana pasar yang unik dengan warung teh-nya. Saya dan isteri berkali-kali berucap spontan ketika film menayangkan sesuatu yang familier dengan ingatan kami. “Lihat pah…” atau “Seperti rumah nek Am…” atau “Itu kan pak Kolek… (adiknya nenek angkat anak-anak kami)” atau “Itu kan pak Rozali kawan papah ngajar… (pak Rozali, pemeran orang yang membacakan soal-soal dalam cepat tepat)” … atau…, dan “Aduh itu teh sahanya?, pokokna babaturan ngajar, mun teu salah guru ekonomi… trus ayeuna teh di SMAN 2…(saya menunjuk salah seorang supporter dalam cerdas cermat yang mengenakan kemeja putih)”.

Untuk menghilangkan rasa penasaran, siapa bapak supporter dalam film ini, begitu keluar dari BSM XXI segera saya sms sang Kepala SMAN 2 Tanjungpandan, “Yos (beliau benama Yosef Ediyono), ari nu macakeun soal-soal cepat tepat teh bener pak Rozali, ari nu jadi supporter make kameja bodas saha euy?” (“Yos, yang membacakan soal-soal cepat tepat itukan pak Rozali, kalau yang menjadi supporter berkemeja putih siapa?”). Tidak lama kemudian, “Bener, yg nonton pa fajeri smanda eta teh mahar aslina” (dikutip dari sms asli).

Mahar asli? Wow betapa dekatnya Laskar Pelangi dengan saya (GR nich…yech…). Maksud saya adalah selain saya mengenal begitu dekat Belitung, ternyata ada seorang anggota Laskar Pelangi yang saya kenal. Ahmad Fajeri alias Mahar, nama ini sangat saya kenal karena setidaknya kami pernah sama-sama mengajar di SMA PGRI Tanjungpandan. Dengan mengingat lagi orangnya, he…he…he… memang pak Fajeri ini begitu energik, kalau berbicara penuh semangat, ada nuansa humornya, cocok dengan si Mahar.

Jejak Laskar Pelangi di SCTV semakin menguatkan saya bahwa pak Fajeri benar-benar Mahar. Kebetulan siang itu saya berada di rumah, tiba-tiba isteri saya memanggil, “pah ini ada pak Fajeri di tv!”. Memang pak Fajeri menjadi tokoh utama anggota Laskar Pelangi dalam Jejak Laskar Pelangi ala SCTV hari ini. Benar-benar dekat Laskar Pelangi dengan saya.

Mungkinkah ada kejadian-kejadian lain yang menghubungkan antara saya dengan Laskar Pelangi? Setidaknya mimpi saya mewujud yaitu ingin bersua langsung dengan penulis besar sekaliber Andrea Hirata tidak hanya melihat di televisi. Semoga.

SMS



By: Agus Hermawan

“Salam kenal pak. Saya, nisa dr sma 2 pahandut palangkaraya. nisa baru aja selesai baca buku karya bpk agar otak tidak beku ajaklah berselancar. nisa bc lg, dan lg. wah, bgs sekali pak. serasa mjd manusia br, isinya keren pak. terus berkarya y pak! salam buat tmn2 di bandung. n_n.”

Sehari sebelum puasa, tepatnya 31 Agustus 2008 jam 16:07 saya menerima sebuah sms yang isinya seperti di atas (dikutip asli—tanpa diedit) dari sebuah nomor yang belum tercantum dalam daftar nama pada HP saya.
Sebelum isi sms di atas dibuka, tadinya saya berpikir bahwa semua sms yang masuk hari itu pastilah (dan terimakasih) berisi ucapan selamat menunaikan ibadah puasa—dengan berbagai variannya. “Slamat dtg dlm penerbangan RAMADHAN AIR, dg no penerbangan 1429H tujuan IDUL FITRI. Penumpang diwajibkan memakai sabuk PUASA & menegakkan kursi IMAN & TAQWA. Penerbangan ini adalah penerbangan BEBAS DOSA. Kami mengucapkan selamat menikmati penerbangan ini, SELAMAT BERPUASA”.

Itulah salah satu varian sms kreatif yang saya terima. Sms ini dikirim oleh sahabat lama (sekarang sedang menjabat sebagai Kepala Sekolah di Kabupaten Belitung Barat), kawan kuliah di ITB tahun delapanpuluhan. Dan sms di atas menjadi sangat lucu bila pembaca pernah bepergian menggunakan pesawat karena kalimatnya merupakan plesetan dari informasi baku dari seorang pramugari. Bagaimana pembaca? Kreatif kan?

Kita kembali ke-sms pertama. Karena datangnya dari nomor yang tidak dikenal, lalu saya jawab, “Salam kenal kembali. Terima kasih telah membaca dan tertarik dengan buku saya. Kalau boleh tahu, nisa ini siswi atau guru? Dan dari mana dapat buku karya saya? trims…". Dari gaya menulisnya saya meragukan bahwa nisa ini seorang guru. Namun, saya masih yakin bahwa siapa pun orangnya kalau menyebutkan dari sebuah SMA biasanya seorang guru. Mereka berasal dari sekolah yang pernah saya kunjungi atau pernah mengikuti pelatihan kurikulum yang salah seorang pematerinya adalah saya.

“Saya siswa pak kls XI. begini ceritanya pak, d sekolah saya belum ada ekskul jurnalistik, nisa&kwn2 mau mendirikannya, trus nisa izin dgn bu raya (wakasek kurikulum) beliau setuju. alhamdulillah. kemudian, bu raya bilang beliau punya buku yg bgs mengenai jurnalistik dn langsung dpt dr penulisnya, yaitu bpk. pak, sy boleh nanya2 ttg ekskul jurnalistik kn pak?makasih.”

Dugaan saya betul bahwa Nisa ini seorang siswa. Perlu saya sampaikan kehadapan pembaca bahwa saya telah menulis dua buku, yang pertama berjudul Agar Otak Tidak Beku Ajaklah Berselancar, dan kedua Belajar dari (Model) Kehidupan. Dua-duanya terbit tahun 2008. Agar Otak Tidak Beku Ajaklah Berselancar seperti yang diungkapkan Nisa salah satunya berisi tentang ekstrakurikuler jurnalistik. Memang, lahirnya buku pertama ini diilhami oleh salah satu tugas saya dalam turut mencerdaskan peserta didik sebagai pembina ekstrakurikuler jurnalistik.

Ekstrakurikuler Jurnalistik merupakan hasil metamorfosa dari ekstrakurikuler Mading yang saya gagas bersama kawan-kawan guru, kemudian berubah menjadi ekstrakurikuler Majalah Sekolah yang merupakan hasil evaluasi bersama peserta Mading. Nama ekstrakurikuler Majalah Sekolah muncul setelah pada semester sebelumnya kami berhasil melahirkan edisi pertama Majalah Sekolah (April 2004) dan alhamdulillah sekarang tetap langgeng.

Buku kedua, berisi tentang dunia pendidikan yang dominan bercerita tentang refleksi saya baik mengenai kegiatan pembelajaran di kelas atau kenyataan keberadaan pendidikan di Indonesia sekaligus bercerita tentang orang-orang yang care dan patut menjadi contoh untuk dunia pendidikan.

Luar biasa! Seorang siswa yang boleh jadi selama ini mencari “wadah” untuk mencuatkan potensi dalam menulis, kelas XI memiliki gagasan dan berani untuk melahirkan sebuah ekstrakurikuler baru yang selama ini belum ada di sekolahnya. Anak ini—yang oleh Gardner dikategorikan memiliki cerdas linguistik—tidak tahan lagi untuk meledakkan potensinya. Hebatnya, bu Raya langsung merespon positif kemauan Nisa bahkan memberikan sebuah buku agar keinginan Nisa dan kawan-kawannya mewujud.

Nisa merupakan satu dari ratusan anak Indonesia yang memiliki dan mampu mewujudkan sebuah impian besar. Impian Nisa ini belum tentu dapat dilahirkan oleh semua orang sekalipun seorang kepala sekolah atau guru.

“Sangat boleh. Bila Nisa punya pertanyaan yang membutuhkan jawaban secara mendetail kirim aja ke email saya, alamatnya ada pada buku. Ditunggu ya….”. Nisa bagi saya tidak berbeda dengan peserta didik yang ada di sekolah saya. Nisa lebih khusus lagi adalah peserta ekstrakurikuler jurnalistik di sekolah saya. Nisa adalah anak Indonesia yang perlu diakomodir keinginannya.

“Iya, makasih pak. n_n”. Inilah sms ketiganya. Akhirnya obrolan kami lewat sms-an terhenti. Namun, keyakinan dan harapan saya tidak akan berhenti di sini. Keyakinan saya pun sangat besar bahwa ekstrakurikuler Jurnalistik benar-benar lahir di sekolah Nisa. Email adalah sarana kami untuk ngobrol dan membincangkan tetek-bengek ekstrakurikuler jurnalistik.

Semoga bara api keinginan seorang Nisa tidak padam tersiram tantangan yang menghadang. Semoga kecerdasan linguistik seorang Nisa mencuat dengan lahirnya ekstrakurikuler jurnalistik di SMA 2 Pahandut. Semoga lahir pula pembina-pembina yang memiliki kemauan sebesar kemauan Nisa. Semoga mereka memiliki keikhlasan untuk membina Nisa dan kawan-kawannya. Dan, semoga majalah sekolah segera lahir di SMA 2 Pahandut. Begitu kan Nisa?

Senin, 19 Januari 2009

Sekilas Ala Pendidik An

Sesuai dengan namanya, Ala Pendidik An, blog ini mengajak kepada rekan-rekan (pendidik), anak-anakku (peserta didik), dan atau siapa pun yang ingin bercerita tentang pendidikan. Anda bisa berbagi cerita, opini, puisi, cerpen atau apa pun yang bersentuhan dengan pendidikan. Sekecil apa pun sentuhannya yang jelas ending-nya memperbaiki pendidikan di Indonesia, sedikit-sedikit tanpa berhenti. Orang Jepang bilang kaizen. Jadi, bagi Anda yang cinta pendidikan berbagilah.