Minggu, 05 April 2009

Golput? Tentu Tidak!

By: Agus Hermawan


Kami dari partai Insan Empati Bangsa mengucapkan salut dan terimakasih yang luar biasa kepada pimpinan pemerintahan sekarang beserta jajarannya. Beliau dengan dukungan partai Dinosaurus beserta partai lain baik yang duduk sebagai wapres, anggota kabinet, legislatif, dan jabatan-jabatan lain telah berhasil membuat gebrakan-gebrakan hebat yang sebelumnya jarang dilakukan, sebagai contoh pemberantasan korupsi, dan yang penting bangsa kita mulai disegani kembali dalam pergaulan dunia. Tetapi saudara-saudara harus tahu bila negara ini dipimpin oleh orang dari partai kami maka negara menjadi lebih baik dari sebelumnya, dalam berbagai aspek, termasuk apa pun yang saudara-saudara impikan selama ini”.

Pembaca, teks di atas hanya cuplikan dari kampanye yang disampaikan salah seorang kader dari partai Insan Empati Bangsa (kalau ada nama partai yang sama, ini hanya kebetulan belaka, maklum penulis tidak ingat nama seluruh partai yang ada di Indonesia saat ini, maaf pembaca) di sebuah lapangan terbuka yang dihadiri oleh ribuan massa pendukung (asli lho… bukan massa sewaan!).

Bila saja ada pemimpin partai yang berorasi demikian maka satu langkah kedewasaan bangsa ini tercipta. Betapa tidak, sementara pemimpin (dan kader-kader) partai saling menyalahkan, menghujat, membongkar kesalahan serta kekurangan partai lain, pemimpin ini tidak. Karena apa pun yang telah dilakukan pemimpin saat ini merupakan prestasi bahkan sejarah bangsa. Disamping segala kekurangan dan kesalahan (memangnya ada pemimpin—presiden—di negeri ini yang tidak melakukan kesalahan? Juga tidak memiliki kekurangan?), kelebihannya mesti kita akui. Prestasi yang telah diperbuat bisa jadi merupakan bongkahan emas bagi pemimpin berikutnya agar tidak gagap dalam membuat serta memutuskan kebijakan. Kekurangan yang terdeteksi merupakan pelajaran bagi pemimpin baru agar tidak melakukan hal yang sama bahkan bisa jadi sebagai indikator untuk menyusun visi dan misi ke depan.

Saya teringat akan tiga buah buku yang menggugah dan mampu menggerakan pikiran dan perasaan agar kita banyak belajar dari pengalaman orang lain. Manajemen Kecerdasan, Quantum Ikhlas, dan Primal Leadership yang berturut-turut ditulis oleh Taufiq Pasiak, Erbe Sentanu, dan Daniel Goleman. Dalam Quantum Ikhlas, digagas bagaimana kita selangkah lebih maju dibanding ber-positive thinking, yakni positive feeling, sebuah kemampuan bagaimana kita merasakan sesuatu telah terjadi—saking sering kita merasakannya, ini tidak mendahului Tuhan—dengan niat yang baik dan ikhlas. Artinya, dengan berpikiran sesuatu telah terjadi maka insya Allah segala perasaan kita terjadi. Misalnya, rakyat Indonesia berpikiran bahwa negeri ini pada tahun 2015 telah menjadi negeri yang kembali disegani dunia, makmur, adil, dan sejahtera. Maka dengan izin Allah swt. terjadi.

Taufiq Pasiak dari penjelajahannya sebagai manusia yang sarat pengalaman berkecimpung diberbagai organisasi dan dengan ditunjang oleh sisi keilmuan yang mumpuni, menuliskan dalam Manajemen Kecerdasan, bahwa manusia memiliki empat kebutuhan jiwa yang menurut penemunya, psikolog McCleland, menjadi titik kunci keberhasilan (hlm. 173). Keempat kebutuhan jiwa tersebut adalah; 1) kebutuhan diterima (need of affiliation), 2) kebutuhan berkuasa (need of power), 3) kebutuhan berprestasi (need of achievement), dan 4) bebas dari kegagalan (free of failure).

Pada kebutuhan berkuasa, Pasiak menceritakan bahwa pada sebuah tim seringkali terjadi kegagalan. Sebabnya tampak sederhana: setiap orang dalam tim itu ingin tampil sebagai pemimpin tim. Kalau itu tidak berhasil, maka ia “menyalurkan” dalam bentuk lain. Ia menciptakan wilayah kekuasaan yang tidak bisa dijamah orang lain. Anda bisa bayangkan bagaimana jika setiap orang dalam tim ini membentuk wilayah kekuasaan masing-masing dan menjadi “jenderal” dalam wilayah itu (hlm. 176).

Pembaca, saya berpikiran itulah penyebab di negeri ini—setelah era orde baru tamat—begitu menjamurnya partai politik. Betapa tidak, pada Pemilu 1999 terdapat 48 partai, Pemilu 2004 melibatkan 24 partai, dan sekarang Pemilu 2009? Bisa jadi inilah yang menurut Pasiak terbentuk wilayah kekuasaan masing-masing. Sehingga tidak heran apabila masing-masing pemimpin atau kader partai dalam berorasi pada kampanye begitu meledak-ledak untuk “menyalahkan” partai yang sedang berkuasa. Agar partai yang dipimpinnya seolah tidak terjamah oleh orang lain alias merasa yang paling benar. Bukan begitu?

Seperti buku-buku lain karya Daniel Golemen mampu “mengubah” dunia, Primal Leadership pun demikian. Kata kunci dalam buku ini adalah pemimpin yang “resonan” versus “disonan”. Pemimpin disonan memiliki ciri-ciri umum seperti; kurang empati, emosi negatif, dan tidak memiliki kecerdasan emosi. Efek dalam kepemimpinan sering ditemukan ciri-ciri turunan misal; pemarah, bawahan menjadi defensif, menyerang pribadi-pribadi, tidak bertanggungjawab, suasana diliputi stres. Pemimpin seperti ini sangat sedikit (untuk dibilang tidak ada) melahirkan ide-ide brilian baik dari diri atau bawahannya. Bagaimana akan memunculkan ide brilian bila berada dekat pimpinan justru menjadi stress? Akibatnya ada atau tidak ada sang pemimpin bagi bawahan tidak menjadi masalah, bahkan lebih dominan bawahan menghendaki pemimpin sering-sering tidak berada di dekatnya. Ga ngaruh!.

Seringkali kita, sebagai bawahan merindukan kehadiran pimpinan yang suatu hari berhalangan masuk kantor. Hal demikian merupakan dampak positif dari seorang pemimpin resonan dimana kehadirannya memberikan getaran hebat. Getaran ini terus dirasakan sekalipun sang pemimpin tidak dekat dengan bawahan, artinya bawahan tetap melakukan aktifitas sesuai dengan job description masing-masing. Getarannya tetap menggerakkan siapa pun seolah sang pemimpin berada dekat sekali dengan kita.

Pemimpin resonan memiliki “kekhasan” mendengarkan perasaan orang lain serta mengarahkan mereka ke arah yang benar. Maka kondisi seperti; berbagi ide, keinginan belajar, keputusan kolaboratif, menuntaskan seluruh pekerjaan tercipta sehingga jangan kaget apabila keadaan organisasi diselimuti antusiasme tinggi, komitmen tinggi, serta efek emosional yang selalu bergetar.

Dalam skala besar, bisa jadi pemimpin partai yang berorasi seperti dicontohkan pada paragraf awal tulisan ini telah teritegrasi positive feeling dalam dirinya, orasi tidak melulu menghujat musuh politik, dan mampu menggetarkan emosi positif kehadapan khalayak dalam kebiasaan berucap dan bertindak.

Pun bila pemimpin seperti ini terpilih sebagai pemimpin bangsa atau mewakili rakyat di legislatif sepertinya rakyat tidak diliputi kegelisahan, hilang kepercayaan, pesimistis, kebingungan. Gelisah menunggu apa yang akan terjadi esok hari. Tidak percaya karena begitu banyak wakil rakyat yang justru memperkaya diri, bukan memperkaya rakyat. Pesimis tidak akan terjadi perubahan apabila sepak terjang para wakil tidak sesuai dengan janji-janji saat kampanye. Bingung, kok para wakil dalam menyelesaikan perbedaan malah berperilaku bak anak-anak TK (bahkan anak-anak PAUD kaleee…). Rakyat justru berharap sebuah kehidupan yang tenang.

Jadi wahai para calon presiden, calon legislatif, dan para jurkam berorasilah dengan cerdas tidak mengobral janji dan tidak menyalahkan lawan politik karena rakyat sudah bosan dengan janji-janji serta kami sangat tidak simpati dengan Anda yang berkampanye hanya fokus pada kesalahan-kesalahan orang lain seolah Anda yang paling hebat di Indonesia. Atau golput menjadi kata wajar buat kami? Tentu tidak, Anda-lah yang mengondisikannya.

1 komentar: